Friday, December 5, 2008

_ceRiTa_

STELAN JAS ITU BERSAYAP KUPU-KUPU

Pintu kamar terdengar terbuka. Seorang masuk dan melangkah menuju ranjangku kudengar dari suara sepatunya di lantai. Aku tahu ini pasti mama. Dari batik selimut aku kembali memejamkan mata. Hanya berpura-pura.

“My little Angle, ayo bangun. Bukankah kamu harus mengumpulkan tugas matematika pagi ini ?”

Inilah bagian yang aku suka dari rutinitas pagiku. Aku masih berpura-pura tidur. Mama menarik selimut yang menutupi hingga ke ujung-ujung rambut blondeku, lalu jari tangannya yang halus mengusap-usap wajahku yang lembut. Jarinya berhenti di ujung hidungku dan dengan telunjuknya mama menutup kedua lubangn hidungku. Akupun berteriak karena tak bisa menahan napas dan tertawa setelah itu.

Mama memang selalu bisa menebak kepura-puraanku. “Kena kamu! Ha..ha..ayo Litle Angel, sekarang kita mandi. Bukankah Nona Brenda selalu menghukum dengan penggarisnya yang panjang kalau ada yang terlambat? Jangan sampai hari ini giliranmu.”

Nona Brenda, Aku sebenarnya tidak terlalu suka dengannya. Dia adalah wali kelasku di kelas dua. Bukan karena dia selalu menghukum setiap anak yang terlambat dengan pukulan penggaris panjangnya di telapak tangan, karena bisa dipastikan aku tak pernah terlambat ataupun karena dia selalu memberikan tugas-tugas yang banyak untuk dikerjakan di rumah. Aku tak suka dengan nona Brenda karena setelan blousenya yang kuno dan selalu berwarna hitam yang semakin menamppakkan postur tubuhnya yang kurusnya, ditambah lagi kacamatanya yang tebal. Sepele, tapi nona Brenda mengingatkanku pada tokoh-tokoh antagonis dalam serial telenovela yang tak pernah dilewatkan oleh Nanny, pengasuhku.

“Litle Angle, kamu sudah siap?” suara mama memanggil dari bawah. Aku segera turun dari kamarku di lantai atas diikuti Nanny yang menenteng sepatu dan tas sekolah. Rupanya mama sudah menunggu di meja makan dengan segelas susu dan selembar roti panggang berlapis selai stroberi kesukaanku. Sambil mengunyah roti, Aku menyampaikan hal kecil yang sudah aku rencanakan sejak di sekolah kemarin bersama Rachel. Bahwa aku akan menjemputnya untuk berangkat bersama.

“Ma, boleh kan aku menjemput Rachel nanti? Kami sudah berjanji berangkat bersama.” “Tentu, Litle Angle. Kita akan menjemput Rachel di rumahnya. Tapi, kamu sudah bilang padanya unuk menunggu ?”

“Iya, sudah. Tapi, mmm...sebenarnya hanya aku, bukan dengan naik mobil mama. Kami nanti bersama tuan pedro ke sekolah. “jawabku setengah gugup. “Aku juga mau bermain di rumahnya dari pulang sekolah nanti, tidak lama hanya tiga jam.”

Mama meletakkan sendok dengan garpu di tangannya, menatapku dengan perasaan agak heran karena ini yang pertama kali aku berangkat ke sekolah tanpa diantar mama, tentu saja jika diizinkan. Namun hanya sebentar, tak lama kemudian ia kembali melanjutkan menyantap sarapannya setelah meneguk orange juice dari gelas minumannya.

“Kamu yakin?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Mama menyelesaikan sarapannya tanpa bertanya apa-apa, itu artinya ia mengijinkan. Ketika aku sudah selesai dan akan berangkat, ia masih mau mengantar aku sampai ke pintu gerbang. Tak lupa ia juga memberikan sebuah ciuman di keningku.

“Hati-hati, Litle Angle.”baik, Ma”

Dengan langkah kecil aku berjalan menyusuri jalur trotoar ke arah trotoar ke arah utara, menuju rumah Rachel kira-kira satu blok dari kompleks rumah kami. Pagi ini matahari bersinar terang memancarkan embun-embun di daun-daun bunga menjadi perak berkilau. Aku suka cuaca seperti ini kecuali hari senin karena hari itu selalu ada upacara bendera yang melelahkan dan juga sangat tak nyaman berdiri dibawah sengatan terik dan cucuran keringat.

Cuaca yang cerah serasi dengan kelopak-kelopak bunga di taman yang berbagi sedikit ruang dengan trotoar. Bunga-bunga mungil itu berdaun tipis dan panjang seperti daun rumput tapi agak lebar.

Jalan ramai sekali oleh lalu-lalang kendaraan. Orang-orang sangat sibuk rupanya kalau pagi seperti ini, aku berpikir kalau kebanyakan dari mereka itu pekerja kantoran. Bisa ditebak dari pakaian yang mereka pakai dibelakang setir mobil, setelan kemeja putih, jas hitam, dan celana hitam. Memang cuma tebakan saja, tapi bukankah sebagian besar orang-orang kantoran bekerja dengan stelan jas lengkap? Kecuali ayahnya George yang juga bekerja di kantoran tapi tak pernah aku lihat berangkat dengan stelan jas. Bahkan kemeja. Setiap pagi ketika mau berangkat ke sekolah aku lihat tuan Newton pergi ke kantor dengan mengayuh sepeda berpenampilan seadanya. Padahal tuan Newton dan mama kerja di kantor yang sama. Suatu malam ketika mengantarku ke tempat tidur aku pernah menanyakan kepada mama.

“Apakah dia, direktur?” “Siapakah yang kau bicarakan Little Angle?” “Tuan Newton, aku lihat dia ke kantor tak pernah memakai stelan jas seperti teman pria mama yang lainnya?” sahutku pada mama. “Lalu kenapa hanya punya sepeda kalau dia direktur?”

“Oo, tuan Newton.........”Tidak sayang, Tuan Newton bukan direktur dan tidak perlu mengenakan jas karena di kantor dia sudah punya pakaian yang bagus”. "Kalau kamu lihat pasti kamu suka, berwarna biru tanpa dasi, Walaupun demikian,Tuan Newton sangat senang dengan pakaiannya dan tentu saja pekerjaannya”. “Kalau tuan Newton hanya punya sepeda, itu karena tuan Newton menabung untuk masa depan George.”

“Mama punya mobil, apakah mama tidak menabung untuk masa depan saya?”

“Litle Angle, mama selalu memikirkan masa depan kamu sayang”, “Walaupun mama punya mobil, mama masih bisa menbung.Lagipula mama kan tak cukup kuat mengayuh sepeda karena kamu yang semakin besar”. Ha..ha..Mama menggelitikku tiba-tiba, tawanya menggema dari langit kamarku. Aku tak mau kalah, bangun untuk membalas menggelitiknya. Kami tertawa dalam dunia malam kami yang kecil dimana hanya ada kami berdua.

“Jadi sekarang tidurlah. Mimpi yang indah, ya?” jawab mama sambil mengecupkan bibrnya dikeningku. Sebentar merapikan selimutku sebelum akhirnya keluar dan kamar menjadi gelap.

Rumah Rachel begitu luas dan indah. Lebih besar tiga kali dari rumah mama. Ruang tamunya berhiaskan guci-guci bercorak naga dengan aksara Cina, bunga-bunga artifisial yang menyala dan kursi ukiran keemesan. Di tengah impitan lukisan –lukisan yng hampir memenuhi dinding ruang tamu itulah aku lihat ayah Rachel berpakaian jas lengkap. Rachel juga ada disana diapit oleh dua kakak laki-laki dan mamanya. Aku yakin sekali kalau ayah Rachel pekerja kantoran, pastilah dia seorang direktur.

Mereka juga memiliki meja makan yang besar dan panjang dengan piring-piring keramik gading dan gelas-gelas kristal di atasnya. Aku dan Rachel makan dari piring yang sudah disediakan oleh dua perempuan yang tadi melecuti seragam sekolah kami.

Sedang mamanya Rachel, aku belum melihatnya sejak kami datang. Beberapa kali aku pernah bertemu dengan nyonya Lorena di sekolah saat mengantarkan Rachel ke sekolah. Perempuan itu sangat cantik mengenakan perhiasan yang tak pernah aku lihat dikenakan mama atau Miss Brenda. Nyonya Lorena sangat ramah pada semua orang tapi entah pembicaraannya selalu ditunjukkan pada perhiasan yang dikenakannya. Setiap kali mengantar Rachel penampilan atau perhiasan yang dikenakannya selalu berbeda.

Namun, yang paling sering mengantarkan Rachel yaitu sopirnya, Pedro. panggilan Rachel untuk tuan lelaki tua itu. Hanya Pedro saja. Menurutku seharusnya Rachel menambahkan tuan didepan namanya itu, untuk lebih menghormati lelaki tua itu.

Tuan Pedro lelaki yang baik. ia selalu membukakan pintu bagi Rachel setiap naik atau turun dari mobilnya. Tuan Pedro tak pernah telat datang menjemput Rachel. Saat bel pertanda pulang berbunyi, kami berhamburan keluar kelas. Lalu kami berteriak dengan tertawa riang. Tak lagi mendengarkan aba-aba Miss Brenda yang menyuruh kami berbaris rapi di lorong-lorong deretan meja dan kursi dalam kelas.

kecil. Bagaimana kelasmu hari ini, menyenangkan?”sambutnya pada Rachel.

Gadis cilik berkepang itu melompat dan sejurus kemudian sudah berada di gendongan Tuan Pedro dengan tawa yang renyah. Tangannya yang mungil bermain-main dengan dasi tuan Pedro. Dasi berbentuk kupu-kupu.

“Ayahmu seorang direktur, Rachel?” “Tidak, aku tak tahu. Mungkin bukan,” ujarnya tanpa melihatku.

Rachel tampak asyik sekali dengan Brad dan Katie, pasangan Barbie yang baru saja dinikahkannya.

“Aku kira iya, kamu memiliki rumah yang indah, bunga-bunga artificial yang menyala, meja makan yang besar. Dalam foto di ruang tamu, ayahmu memakai setelan jas lengkap.”

“Pedro juga punya jas lengkap, dengan dasi kupu-kupu pula. Lebih indah dari punya ayah.Tapi Pedro Cuma seorang sopir.”

Benar juga yang Rachel katakan. Aku memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Terus terang aku tak ingin mengganggu permainan keluarga barbie kami dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

rumahmu dengan setelan jas lengkap seperti ini?”

Pria muda tampan bernama Calvin di tanganku sedang jatuh cinta pada Marie, adik Katie sipegantin perempuan. Calvin aku dandani lengkap dengan dasi kupu – kupu.

Rachel tersenyum. Dalam bola mata birunya aku melihat Tuan Pedro.

Hari yang melelahkan. Aku dan rachel tertidur dalam kamarnya yang melimpah dengan boneka dan mainan. Boneka Barbie, Doggie Pigsy, Kingkong serta berbagai bentuk binatang liar lainnya dengan nama – nama yang lebih bershabat saling berpelukan dalam sebuah kotak besar berjaring merah.

Kamar Rachel sangat luas untuk ukuran anak seusia kami. Dindingnya bercat warna terang. Kuning, Hijau, dan Biru Mudah. Langit – langitnya dilukis persis seperti langit sebenarnya, berawan lengkap dengan gantungan bulan dan bintang – bintang. Dulu aku pernah meminta pada mama agar dibuatkan lukisan seperti itu, juga dinding yang berwarna terang. Tapi beberapa kali kami membicarakannya, mama selalu punya alasan untuk menolak. Aku juga tak mau membantahnya, seperti telah timbul perasaan yang aneh dalam jiwa ku. Semacam ketertarikan.

“Little Angel, di luar sana setiap hari mata kita tertusuk jarum – jarum emas matahari. Itu sudah cukup sakit sayang kamu tentu tak mau tidur kita terganggu dinding kamar berwarna terang yang sama menusuknya dengan warna di luar sana. Mama lebih suka tetap seperti ini, putih. Seputih sayap malikat...Seputih hati malaikat...Seputih cinta malaikat...Seputih cinta kamu pada mama.”

Yang kutahu, mama memang begitu menyenangi warna putih. Perlahan rasa suka itu juga menurun padaku dan itu membuat mama semakin mudah melakukan hal – hal yang ada kaitannya dengan memilih warna karena kami kini memiliki selerah yang sama.

Sudah bangun nona manis? Mataku masih berat. Dalam samar aku melihat Tuan Pedro sedang menyetir. Sesekali tatapan matanya di arahkan padaku yang masih mengangsur di sandaran kursi di sebelahnya.

“Tadi mamamu telepon, ia cemas kau belum pulang. Sebenarnya dia yang akan menjemput tapi Nyonya Lorena memintaku mengantarmu.” “Tuan Pedro...”

“Iya?” Dasimu bagus sekali. Lelaki itu tersenyum, lalu tertawa kecil. Ekor matanya melirikku, sepertinya ia sedikit malu mendapat pujian dari seorang anak kecil. Itu bisa aku lihat dari bibir atasnya yang naik turun.

Setibanya di rumah, mama sudah menunggu di depan pintu. Tuan Pedro menggendongku turun dari mobil karena aku masih lemas dan belum sepenuhnya sadar. Mama menyambutku dari tangan Tuan Pedro dengan raut muka yang bergetar karena kecemasan yang berlebihan kedalam pelukannya. Diam – diam aku mengintip perilakunya dari kelopak mataku.

“Bagaimana keadaan Nyonya Lorena, apakah baik – baik saja?” “Nyonya sedikit terguncang tapi saya rasa tak akan lama. Dari sini saya akan mengantarnya kekantor pengacara terkenel di kota ini. Untuk penangguhan status Tuan menjadi tahanan kota, “Kata Tuan Pedro sambil membuka topinya dan mundur selangkah menjaga jarak dengan mama. Wajahnya juga mengguratkan kesusahan.”

“Memangnya Nyonya mendengar berita di televisi tadi siang?” “Iya, makanya saya segera menelpon. Sampaikan saja salam dan terima kasih saya buat Nyonya Lorena.” Tuan Pedro pamit pulang dengan membungkukkan badanya. Samar aku dengar ia juga pamit padaku dengan memberikan sebuah ciuman dikeningku.” Sampai ketemu besok di sekolah, kupu – kupu kecil.”

Ah, Tuan Pedro memanggilku dengan panggilannya pada Rachel. Aku usahakan membuka mata menatap jalannya dari belakang. Sosok lelaki berpakaian setelan jas lengkap itu tergopoh – gopoh masuk ke dalam mobilnya.

Sayang aku tak bisa melihat sayap kupu – kupu di pangkal lehernya mengipas di hembus angin. Apakah ia bisa terbang? Barangkali suatu hari nanti ia akan terbang. Mungkin begitu juga dengan Tuan Pedro karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari sepasang sayap kupu – kupu itu. Tuan Pedrolah kupu – kupunya bukan aku juga bukan Rachel.

No comments: